Pembangunan
masjid selalu menjadi magnet bagi siapa saja. Orang akan dengan iklhlas
mengulurkan tanggannya mengeluarkan shodaqoh demi terwujudnya rumah Allah. Itu
terbukti dalam Program JAMMAS. Banyak orang berlomba-lomba menafkahkan hartanya
di jalan kebenaran. Nilainya pun tak ala kadarnya dari jutaan rupiah hingga
ratusan juta rupiah. Mereka berlomba Fastabiqul Al-khoirot.
Caranya setiap satu karung tanaman jahe “dinilai” Rp 20.000. Ini untuk memudahkan pernghitungan sehingga siapapun yang berhasrat untuk mensuksweskan pembangunan Masjid Rahmatan Lil Alamin cukup menyebut berapa karung sudah bisa dikalkulasi rupiah yang akan disumbangkan. Situasi acara sumbangan untuk Masjid Rahmatan Lil Alamin ini terkadang tak ubahnya lelang kebaikan. Misalnya ada donator yang sebelumnya hanya berniat bershodaqoh 500 karung, karena melihat dan mendengar donator yang lain berdonasi lebih tinggi maka ia pun menaikan nilai shodaqohnya.
Syaykh Al-Zaytun menjelaskan, donator yang datang untuk penyelesaian Masjid Rahmatan Lil Alamin bukanlah orang yang mempunyai maal yang lebih. Rasullullah menyebutnya sebagai kaum duafa. Duafa itu merupakan masyarakt grass roots yang sering diartikan masyarakat bawah itu bukan berarti orang-orang yang tidak mampu, justru merekalah yang mempunyai kekuatan yang bisa menggerakkan segala macam dalam makna positif.
Duafa juga bukan berarti lemah tanpa mempunyai perhitungan yang dafiq (shaleh), yang mampu menciptakan nashr (pertolongan) dan membawa rezeki. Innama tunsharuuna wa turzaquuna bi duafaaikum (sesungguhnya kalian ditolong dan dibiayai orang-orang duafa) (HR. Ahmad).
Siti Aliyah misalnya, nenek berusia 72 tahun asal Desa Mondo, Kec. Maja, Kab. Kediri, Jawa Timur, sanggup bershodaqoh 1.000 karung. Jika dirupiahkan sejumlah 20 juta. Angka yang sangat besar. Sehari-hari Alifyah hanya berdagang rempeyek. Rencananya uang sebanyak itu akan diberikan secara bertahap selama sepuluh bulan. Jadi rata-rata tiap bulan Akfiyah akan menyumbang sebesar Rp 2 juta . Alfiyah meyakini dengan bershodaqoh untuk penyelesaian Masjid Rahmatan Lil Alamin rejekinya tidak akan berkurang bahkan bertambah. “Saya ini sudah tua, cari uang tiap hari buat apa?” katanya.
Hanifah perempuan umur 69 tahun dari Pontianak, Kalimantan Barat, datang dalam keadaan fisik kurang baik, kakinya sakit harus dibantu dengan kursi roda. “Untuk berdiri saja saya tidak bisa, tapi untuk JAMMAS saya mesti datang,” katanya. Sebelum naik di puncak Masjid Rahmatan Lil Alamin pikirannya berubah, niat shadaqahnya pun bertambah menjadi 1.000 karung. Azamnya kiang melambung setelah mendapat penjelasan tentang JAMMAS saat bersilahturahim dengan Syaykh Al-Zaytun. “Saya tetapkan bershadaqah 1.850 karung, atau Rp 37,5 Juta,” kata Hanifah.
Kabar Jahe Al-Zaytun Membangun Masjid juga sampai ke telinga Muslim Hamid lealki berumur 37 tahun yang sehari-hari menjadi juru parker di pusat perbelanjaan Muara Bungo, Jambi. Jiwanya langsung tergerak begitu informasi penyelesaian Masjid Rahmatan Lil Alamin diperolehnya. Muslim berangkat ke Al-Zaytun seorang diri meninggalkan istrinya yang sedang berdagang pisang. Lima belas juta rupiah menjadi tekadnya bershadaqah untuk Masjid Rahmatan Lil Alamin. Jumlah ini pastilah tidak sedikit bagi juru parker seperti Muslim yang pendapatannya tak menentu. “Nilai dana yang saya niatkan memang cukup besar, tetapi semua kan untuk kebaikan,” kata Muslim.
Faturahman siswa kelas V SD asal Aceh saat datang bersama sang ayah Asril juga tak mau ketinggalan untuk ikut berpartisipasi. Ia yang masih berumur 11 tahun ini jelas belum mempunyai penghasilan, namun begitu mendengan program JAMMAS hatinya tergerak, uang jajan pemberian dari sang ayah akan dikumpulkan, diserahkan untuk Rahmatan Lil Alamain. Bagi Faturahman sedikit mengurangi kesenangan untuk jajan tak jadi soal. Ikut tercatat sebagai anak yang terlibat dalam pembangunan Masjid Rahmatan Lil Alamin adalah sebuah kemulian jiwa. Tujuh ratus lima puluh karung setara dengan Rp 15 juta merupakan azam yang diucapkannya.
Kelompok anak muda yang kerap dianggap suka hura-hura dan foya-foya juga tidak mau ketinggalan. Alimah misalnya, bersama Hendrik, Sose, dan Nurul, tiga rekan bisnisnya dibidang pembuatan coklat, semula atas nam kelompok usahanya berhasrat member 2500 karung. Namun Syaykh Al-Zaytun mengatakan jiga menyumbang atas nama kelompok tidak ada bin (nama ayah)-nya. “Bin itu merupakan doa anak kepada orang tua,” kata Syaykh menjelaskan pentingnya bin setelah nama seseorang.
Mendengar penjelasan itu Alimah berubah pikiran, 2500 karung pun dibagi empat, plus 300 karung dari kocek pribadi. Akhirnya anak-anak muda ini masing-masing mengazamkan kurang lebih 925 karung atau hampir 20 juta rupiah.
Dari kalangan guru Al-Zaytun, Usth. Kokom Komariah yang sehari-hari mengajar bahasa Indonesia bershadaqah Rp 20 juta sama dengan 1000 karung. Jumlah yang sangat besar bagi seorang pendidik yang sudah bisa diukur berapa pendapatan perbulannya.
Relawan Al-Zaytun juga tak mau ketinggalan turut ambil bagian dalam penyelesaian Masjid Rahmatan Lil Alamin. Mereka yang kesehariannya berada di Kampus Al-Zaytun untuk mengerjakan berbagai pekerjaan menjadi kelompok paling awal ambil bagian dalam membantu pendanaan Masjdi Rahmatan Lil Alamin. Hanya hitungan jam saat program JAMMAS digulirkan mereka berbondong-bondong datang menjadi donator. Tak sampai satu bulan semua relawan yang jumlahnya lebih seribu orang itu sudah tercatat menjadi donator dengan besaran sumbangan variatif. Semuanya dibayar cash.
Dari
kalangan usahawan tak kalah banyaknya dengan nilai uang yang disumbangkan juga
tak sedikit, seperti Nova dan Syaiful Hadi dari Jakarta Pusat, Amir Marzuki
dari Jakarta Selatan, dan Supriadi dari Bekasi yang sama-sama menyumbang 5.000
karung atau Rp 100 juta. Subaharman dan istrinya Aghia dari Banten
masing-masing menyumbang sebesar 10.000 dan 7.000 karung.
Fikri Naufal asal Bekasi tidak mau menyia-nyiakan dalam berlomba untuk kebaikan. Dengan mantap pria ini mengzamkan 10.000 karung setara Rp 200 juta. Menurut Fikri sejak lama ia ingin melihat selesainya Masjid Rahmatan Lil Alamin. Maka begitu ada program JAMMAS Fikri segera menyambut. “Saya ingin membuat kenangan dalam hidup saya dengan ikut membangun Masjid Rahmatan Lil Alamin,” kata Naufal.
Para donator bukan hanya datang dari dalam negeri. Mereka ada juga dari Malaysia dan Singapura. Mereka adalah wali santri dan para pencinta Mahad Al-Zaytun. Seperti Ahmad Ruzizan Maphilindo dari Malaysia yang menyanggupi satu juta dolar Amerika untuk pembangunan Masjid Rahmatan Lil Alamin.
Begitulah,
berlomba-lomba dalam kebaikan unutk penyelesaian Masjid Rahmatan Lil Alamin itu
masih terus berlangsung. “Man bana lillaahi
masjidan banallahu lahu baytan fii al-jannah (siapa yang membangun Masjid
karena Allah, akan dibangunkan rumah di akhirat. HR. Mutafaw ‘alaih) (Al-Zaytun
Edisi 65-2015)
0 komentar:
Posting Komentar